HUTAN bukan sekadar hamparan hijau, tapi penjaga iklim dan sumber hidup jutaan makhluk. Sayangnya, dari tahun ke tahun, luasnya terus menyusut. Tergantikan kebun, tambang, dan jalan raya. Deforestasi kini bukan ancaman masa depan, tapi kenyataan yang terus terjadi.
Penyebab deforestasi beragam. Di banyak tempat, hutan dibuka untuk ekspansi perkebunan sawit, pertambangan, pembangunan jalan atau permukiman. Tidak jarang, perambahan dilakukan secara ilegal. Akibatnya bukan hanya berkurangnya luas hutan, tapi juga meningkatnya emisi karbon, hilangnya keanekaragaman hayati, serta bencana ekologis seperti banjir dan longsor yang makin sering terjadi. Saat ini sedang terjadi kehilangan besar, pelan tapi pasti.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2022, wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang tergabung dalam zona Kaltimtara menjadi titik paling parah deforestasi. Kedua provinsi ini kehilangan hutan seluas 13.759 hektare. Angka ini bukan hanya besar, tapi juga menunjukkan peningkatan tajam dari tahun-tahun sebelumnya. Antara 2019 hingga 2020, luas deforestasi di wilayah ini berkisar di angka 10 ribuan hektare. Tapi pada periode 2020–2021, angka tersebut melonjak jadi lebih dari 20 ribu hektare. Lonjakan ini menjadi alarm keras atas tekanan industri terhadap bentang alam yang seharusnya dijaga.

Tak hanya Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Kalimantan Tengah mencatat deforestasi sebesar 11.564 hektare pada periode 2021–2022. Walau menurun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 21 ribu hektare, angka tersebut masih tergolong tinggi. Di provinsi ini, pembukaan lahan untuk perkebunan masih mendominasi penyebab utama.
Sementara itu, Riau sebagai provinsi penghasil sawit terbesar justru mengalami lonjakan drastis. Dari kehilangan sekitar seribu hektare hutan pada tahun 2021, luas deforestasinya meningkat jadi 9.255 hektare di tahun berikutnya. Ini mencerminkan bahwa ekspansi industri sawit terus berjalan agresif, meski berbagai moratorium telah dicanangkan.
Di Kalimantan Barat, deforestasi mencapai 7.846 hektare. Meskipun mengalami penurunan dibanding periode 2020–2021 yang mencatat lebih dari 10 ribu hektare, tekanan terhadap hutan belum mereda sepenuhnya. Begitu pula di Nusa Tenggara Barat, yang kehilangan 6.411 hektare hutan pada 2022. NTB bahkan sempat mencatat deforestasi sangat tinggi pada 2019–2020, yaitu sekitar 13 ribu hektare, sebelum menurun drastis dan kembali meningkat. Pola naik-turun ini memperlihatkan lemahnya pengawasan dan kebijakan yang belum konsisten.
Lima provinsi lain yang juga mengalami kehilangan besar adalah Sumatra Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Jambi, dan Aceh, masing-masing dengan angka deforestasi di atas 5 ribu hektare. Penyebaran deforestasi yang luas ini memperlihatkan bahwa persoalan ini bukan hanya milik satu pulau atau wilayah, tetapi ancaman nyata di seluruh Indonesia.
Kehilangan hutan bukan sekadar isu lingkungan, tapi juga kemanusiaan dari penyangga iklim hingga warisan budaya ikut hilang. Meski ada kebijakan moratorium dan dorongan ekonomi hijau, semuanya bergantung pada pelaksanaan yang konsisten dan kesadaran bersama.(*)Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin