Rasio Utang Rendah, Indonesia Jadi Salah Satu yang Terbaik di G20

kaltimes.com
21 Jul 2025
Share

DI TENGAH guncangan ekonomi global dan tekanan fiskal yang dialami banyak negara, Indonesia justru mencatatkan capaian yang patut diapresiasi. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia tercatat hanya sebesar 41 persen, menjadikannya salah satu negara dengan rasio utang terendah di antara anggota G20.

Rasio utang terhadap PDB merupakan indikator penting dalam menilai kesehatan fiskal suatu negara. Semakin tinggi rasio ini, semakin besar pula risiko beban pembayaran utang di masa depan. 

Utang bisa membantu percepatan pembangunan. Namun, jika tidak terkendali, risikonya adalah ketergantungan pada kreditur asing dan ancaman krisis ekonomi. Karena itu, menjaga rasio utang tetap rendah adalah strategi penting untuk menciptakan ekonomi yang tangguh dan berkelanjutan.

Menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF) per April 2025, banyak negara anggota G20 justru mencatatkan rasio utang yang sangat tinggi. Jepang berada di urutan teratas dengan rasio utang mencapai 234,9 persen dari PDB, disusul Italia sebesar 137,3 persen, dan Amerika Serikat 122,5 persen. Negara-negara besar lain seperti Prancis (116,3 persen), Kanada (112,5 persen), dan Inggris (103,9 persen) juga mencatat angka di atas 100 persen. 

Tingginya utang negara maju umumnya dipicu oleh belanja sosial besar, pembangunan infrastruktur dan stimulus ekonomi pascakrisis. Selain itu, tingkat kepercayaan pasar yang tinggi terhadap perekonomian mereka membuat negara-negara ini lebih leluasa berutang karena dianggap mampu membayar kembali.

Tiongkok dan Brasil masing-masing mencatat 96,3 persen dan 92 persen, sementara India mencatat 80,4 persen. Dalam lanskap ini, posisi Indonesia yang hanya 41 persen tampak jauh lebih sehat secara fiskal.

Rasio utang Indonesia yang relatif rendah menunjukkan pengelolaan keuangan negara yang lebih hati-hati dan terukur. Di tengah tantangan global, capaian ini memberikan ruang fiskal yang lebih besar bagi pemerintah untuk merespons krisis tanpa menambah beban utang secara berlebihan. Sebuah sinyal positif bahwa fondasi ekonomi nasional dibangun di atas prinsip kehati-hatian.(*)

Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin