
ASAP HITAM dari kapal tongkang masih terlihat di sungai-sungai Kalimantan. Batu bara terus diangkut menuju pelabuhan, seolah tak pernah berhenti meski harga dunia naik turun.
Batu bara sudah lama jadi salah satu andalan ekspor Indonesia. Komoditas ini dipakai sebagai bahan bakar pembangkit listrik di banyak negara.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren ekspor batu bara Indonesia bergerak naik-turun sepanjang 2020 hingga 2024.
Pada 2020, ekspor batu bara tercatat 341,5 juta ton dengan nilai 14,5 miliar dolar AS. Nilai ini turun 23,33 persen dari tahun sebelumnya akibat permintaan global melemah karena pandemi.
Memasuki 2021, tren berbalik naik. Nilai ekspor melonjak 82,56 persen menjadi 26,5 miliar dolar AS, dengan volume 345,5 juta ton. Harga dunia yang naik mendorong permintaan.
Kinerja terbaik terjadi pada 2022. Volume ekspor naik ke 360,1 juta ton dengan nilai 46,7 miliar dolar AS. Namun pada 2023, nilainya kembali turun 26,03 persen menjadi 34,5 miliar dolar AS meski volume naik ke 379,7 juta ton.
Tahun 2024 mencatat rekor volume tertinggi, 405,8 juta ton. Tetapi nilainya justru turun 11,86 persen menjadi 30,4 miliar dolar AS.

Ekspor ke Negara Tujuan
Lima negara tujuan utama ekspor batu bara Indonesia adalah China, India, Jepang, Filipina, dan Malaysia. Namun, seluruhnya mencatat penurunan pada 2024.
Ekspor ke Jepang turun paling besar, 18,67 persen, dari 4,8 miliar dolar AS pada 2023 menjadi 3,9 miliar dolar AS. Filipina berada di posisi kedua dengan penurunan 18,30 persen menjadi 2,8 miliar dolar AS.
India turun 13,93 persen menjadi 6,2 miliar dolar AS, sementara Malaysia turun 11,19 persen menjadi 2,4 miliar dolar AS. Penurunan paling kecil terjadi pada China, 6,04 persen, dari 7 miliar dolar AS menjadi 6,6 miliar dolar AS.

Kontribusi Daerah Penghasil
Kalimantan Timur masih menjadi penyumbang utama. Volume ekspor dari provinsi ini naik dari 210 juta ton pada 2023 menjadi 221,2 juta ton pada 2024. Tetapi nilainya turun 11,81 persen menjadi 16,5 miliar dolar AS.
Kalimantan Selatan juga mengalami pola serupa. Ekspor naik ke 82,8 juta ton, sementara nilainya turun 9,06 persen menjadi 6,2 miliar dolar AS.
Kalimantan Tengah mengekspor 22,4 juta ton dengan nilai 3,1 miliar dolar AS, turun 17,94 persen. Sumatra Selatan mengirim 31,2 juta ton dengan nilai 1,9 miliar dolar AS.
Satu-satunya yang mengalami penurunan ganda adalah Kalimantan Utara. Volume ekspor turun dari 22,8 juta ton menjadi 21,3 juta ton, sedangkan nilainya merosot 22,56 persen menjadi 1,3 miliar dolar AS.
Apa Artinya Bagi Indonesia?
Data ini menunjukkan ekspor batu bara Indonesia masih tergantung pada harga pasar global. Volume bisa naik, tetapi nilai tetap merosot jika harga dunia melemah.
Bagi masyarakat, kondisi ini bisa memengaruhi penerimaan negara dan daerah. Ketika nilai ekspor turun, potensi pemasukan dari pajak dan royalti juga menurun.
Di sisi lain, ketergantungan yang besar pada batu bara membuat ekonomi rawan guncangan ketika harga energi dunia tidak stabil.
Indonesia kini menghadapi tantangan: menjaga pendapatan dari batu bara sambil perlahan mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang tidak ramah lingkungan.
Batu bara memang jadi penopang devisa, tetapi masa depannya tidak bisa hanya ditopang oleh satu komoditas. Saat harga bergejolak, Indonesia perlu menyiapkan pijakan ekonomi baru.(*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin