
SUARA gemericik air kini makin jarang terdengar di banyak desa. Sumur-sumur mengering, sementara kebutuhan hidup terus meningkat.
Air menjadi penopang utama kehidupan manusia. Tubuh hanya mampu bertahan satu minggu tanpa minum. Lebih dari itu, sistem metabolisme berhenti bekerja. Tak hanya untuk tubuh, air juga penting bagi sanitasi, pertanian, dan energi listrik.
United States Geological Survey (USGS) mencatat, hanya 2,5 persen air di bumi yang layak konsumsi. Dari jumlah itu, 1,2 persen berada di permukaan, sisanya terperangkap di es atau tersimpan dalam tanah. Fakta ini menunjukkan air bersih adalah sumber daya terbatas.
Proyeksi Krisis Global dan Indonesia
World Data Lab (2025) memperkirakan 45 persen penduduk dunia akan tinggal di wilayah kekurangan air bersih pada 2050. Indonesia masuk dalam kategori rawan. Separuh penduduk Indonesia diprediksi hidup di daerah dengan keterbatasan air bersih. Dari jumlah itu, 17 persen menghadapi absolute scarcity, yaitu ketersediaan air kurang dari 500 meter kubik per orang per tahun.

World Data Lab membagi krisis air dalam tiga level. Pertama, water stress, dengan ketersediaan 1.000–1.700 meter kubik per orang per tahun. Kedua, water scarcity, yaitu 500–1.000 meter kubik. Ketiga, absolute scarcity, dengan ketersediaan air kurang dari 500 meter kubik per orang per tahun.
Respons Pemerintah
Pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas tampungan air hingga 63 meter kubik per kapita dalam RPJMN 2025–2029. Pemerintah juga menargetkan akses air minum perpipaan di kota naik menjadi 51,36 persen dan sanitasi aman menjangkau 30 persen rumah tangga.
Pelaksanaan target masih menghadapi tantangan. Distribusi air kerap timpang antarwilayah, sementara kerusakan lingkungan semakin memperparah ketersediaan sumber air.
Krisis air bersih bukan lagi isu masa depan. Jika pemerintah dan masyarakat tidak segera bertindak, 2050 bisa menjadi tahun kelam ketika separuh rakyat Indonesia kesulitan memperoleh seteguk air.(*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin