Upah Buruh di Kalimantan Timur Tertinggi ke-4 Nasional, Capai Rp 4,44 Juta

kaltimes.com
5 Jul 2025
Share

BAGI jutaan buruh di Indonesia, besaran upah menentukan bukan hanya kemampuan bertahan, tetapi juga kesempatan untuk hidup lebih baik. Di tengah tekanan ekonomi dan biaya hidup yang terus meningkat, nominal gaji bulanan menjadi tolok ukur penting bagi kesejahteraan.

Upah buruh merupakan jumlah gaji bersih yang diterima pekerja, baik harian, mingguan, maupun bulanan. Indikator ini mencerminkan daya beli, kondisi pasar kerja, dan kualitas lapangan pekerjaan di suatu daerah. Perbedaan besar antar provinsi menunjukkan ketimpangan ekonomi yang masih nyata di Indonesia. Selain itu, upah buruh menjadi indikator ketimpangan pembangunan dan kebutuhan kebijakan yang lebih merata.

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis laporan Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Februari 2025. Salah satu sorotan utama adalah data rata-rata upah atau gaji bersih yang diterima buruh, karyawan dan pegawai. Laporan ini mengungkap secara nasional, rata-rata upah buruh sebesar Rp 3,09 juta per bulan. Namun, angka ini sangat bervariasi antarprovinsi. Jakarta kembali menjadi daerah dengan rata-rata upah tertinggi, yaitu Rp 4,88 juta per bulan.

Beberapa provinsi mencatatkan upah yang jauh di atas rata-rata nasional. Setelah Jakarta, posisi kedua ditempati Papua Tengah dengan rata-rata Rp 4,75 juta, disusul Kepulauan Riau sebesar Rp 4,74 juta. 

Kalimantan Timur berada di posisi keempat dengan upah rata-rata Rp 4,44 juta per bulan. Angka ini menunjukkan bahwa Kalimantan Timur sebagai daerah penghasil energi dan kawasan industri strategis, mampu memberikan kompensasi yang relatif tinggi kepada para pekerjanya. Posisi ini masih lebih tinggi dibanding Kalimantan Utara (Rp 4,36 juta), Banten (Rp 4,17 juta), maupun Papua Pegunungan (Rp 4,13 juta).

Data ini menegaskan bahwa peluang ekonomi dan nilai kerja masih sangat dipengaruhi oleh lokasi geografis. Ketimpangan upah antarwilayah menjadi pengingat penting bahwa akses terhadap pekerjaan layak belum merata. Ke depan, kebijakan ketenagakerjaan dan pembangunan daerah harus mampu mempersempit jurang ini agar kesejahteraan tak hanya terkonsentrasi di provinsi-provinsi tertentu saja.(*)

Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin