Setengah dari Masyarakat Rela Suap Petugas, Korupsi Mikro Mungkin Sudah Jadi Budaya

kaltimes.com
28 Mar 2025
Share

KORUPSI di level mikro atau petty corruption merupakan bentuk korupsi yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Praktiknya meliputi pemberian uang atau barang kepada petugas demi layanan lebih cepat atau menghindari sanksi. Laporan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2024 menunjukkan masyarakat semakin terbuka terhadap praktik ini. Pembahasan ini berfokus pada tiga aspek utama: suap dalam layanan administrasi kependudukan, “uang damai” dalam tilang lalu lintas, serta politik uang dalam pemilu.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diakses pukul 18.49 Wita, 2 Maret 2025, pada 2024 menunjukkan bahwa 43,94 persen masyarakat memberikan gratifikasi dalam pelayanan publik secara sukarela, sementara 31,37 persen menganggapnya lumrah. Selain itu, 22,97 persen gratifikasi terjadi atas permintaan petugas dan 1,72 persen atas permintaan pihak ketiga.

Kecenderungan ini sejalan dengan laporan IPAK 2024, dari 10.982 responden, di mana 17,5 persen mengaku pernah memberikan uang atau barang untuk mempercepat pengurusan dokumen kependudukan seperti KTP, KK, dan akta kelahiran. Praktik gratifikasi dalam pelayanan publik masih marak dan diterima oleh sebagian masyarakat, mencerminkan budaya yang menganggap suap sebagai hal wajar.

Praktik “uang damai” saat tilang lalu lintas juga masih umum terjadi. Berdasarkan data Transparency International Indonesia (TII) 2024, 45,3 persen masyarakat mengaku pernah memberikan uang kepada petugas lalu lintas untuk menghindari tilang. Berdasarkan laporan IPAK 2024, praktik uang damai dipicu oleh kurangnya transparansi dan kompleksitas prosedur. Faktor-faktor ini mendorong masyarakat memilih jalur informal, melemahkan efektivitas hukum dan meningkatkan risiko kecelakaan.

Selain itu, politik uang masih marak dalam pemilu. Data TII 2024 mencatat bahwa 46,2 persen responden pernah ditawari uang atau barang sebagai imbalan suara. Laporan IPAK 2024 menunjukkan bahwa rendahnya kesadaran politik serta lemahnya pengawasan dan sanksi membuat praktik ini terus berlangsung. Akibatnya, pemerintahan yang terbentuk cenderung tidak kompeten, lebih mementingkan kepentingan pribadi, serta melemahkan demokrasi dengan menjadikan pemilih sebagai alat transaksi politik.

Data dari laporan IPAK 2024 menunjukkan bahwa faktor sosial dan ekonomi turut memengaruhi kecenderungan masyarakat untuk terlibat dalam korupsi mikro. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) digunakan sebagai alat ukur untuk menilai tingkat pemahaman, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari. IPAK menggunakan skala 0-5, di mana nilai lebih tinggi menunjukkan sikap lebih anti-korupsi.

Data IPAK 2024 menunjukkan bahwa masyarakat dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih anti-korupsi, dengan skor IPAK 3,97 untuk lulusan pendidikan di atas SMA dan 3,81 untuk lulusan pendidikan di bawah SMA. Masyarakat perkotaan (IPAK 3.86) juga lebih menolak korupsi dibandingkan perdesaan (IPAK 3,83). Ini mengindikasikan bahwa pendidikan dan lingkungan sosial berperan dalam membentuk persepsi terhadap korupsi.

Penelitian oleh Rose-Ackerman & Palifka (2016) dalam buku Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform menguatkan temuan bahwa korupsi yang sudah menjadi norma sosial cenderung bertahan lama dalam masyarakat dengan birokrasi yang tidak efisien dan tingkat transparansi yang rendah. Mereka menjelaskan bahwa korupsi yang sudah menjadi norma sosial cenderung bertahan lama dalam masyarakat dengan birokrasi yang tidak efisien dan tingkat transparansi yang rendah. Studi tersebut juga menyoroti bahwa pendidikan yang lebih baik berperan dalam meningkatkan kesadaran antikorupsi, karena individu yang lebih terdidik lebih mampu memahami konsekuensi negatif dari korupsi dan cenderung menolak praktik tersebut.

Masyarakat dengan pendidikan terbatas dan tinggal di daerah terpencil lebih cenderung menerima petty corruption sebagai solusi cepat. Minimnya pemahaman dan kompleksitas birokrasi memperkuat praktik ini. Kurangnya pemahaman mengenai dampak negatifnya serta budaya keterbukaan terhadap korupsi mikro semakin memperkuat penerimaan terhadap praktik ini, menciptakan siklus yang sulit diputus.

Pemerintah harus menyederhanakan birokrasi, meningkatkan transparansi layanan publik, serta memperketat pengawasan dan sanksi terhadap korupsi. Peningkatan kesejahteraan aparat juga diperlukan untuk mengurangi insentif suap. Selain itu, pemerataan akses dan peningkatan kualitas pendidikan harus menjadi prioritas guna menanamkan nilai integritas sejak dini. Masyarakat dengan pendidikan lebih tinggi lebih cenderung menolak korupsi, sehingga investasi dalam pendidikan menjadi strategi penting dalam pemberantasan korupsi mikro.

Masyarakat juga perlu berperan aktif dengan menolak praktik korupsi, meningkatkan kesadaran melalui pendidikan, dan mendukung kampanye antikorupsi. Tanpa langkah konkret dari pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat, korupsi mikro akan terus mengakar dan menghambat kemajuan bangsa.

Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin