KASUS TOM LEMBONG bikin publik heboh.
Ia divonis dalam perkara impor gula. Kini, kebijakan impor sejak ia menjabat kembali jadi sorotan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor gula Indonesia naik-turun selama 2015–2024. Tapi sejak 2020, volume impor selalu di atas 5 juta ton.
Kebijakan impor ini tak lepas dari keputusan politik tiap Menteri Perdagangan. Faktor global dan kebutuhan industri juga ikut menentukan.
Pada 2015, saat Tom Lembong mulai menjabat, impor sebesar 3,38 juta ton. Setahun kemudian, naik jadi 4,77 juta ton. Ia mengizinkan impor gula mentah untuk industri makanan dan minuman.
Kini, kebijakan itu disorot setelah Lembong terbukti bersalah dalam kasus penyimpangan impor.
Selanjutnya, di era Enggartiasto Lukita (2017–2019), total impor mencapai 13,59 juta ton. Ini jadi rekor tertinggi dalam tiga tahun. Pemerintah saat itu bilang, impor penting untuk jaga stok dan harga. Tapi petani lokal merasa dirugikan.
Agus Suparmanto menjabat tahun 2020. Ia melanjutkan pola impor sebelumnya. Volume impor saat itu 5,54 juta ton. Tak banyak kebijakan baru karena pandemi COVID-19.
Lalu datang Muhammad Lutfi (2021–2022). Ia dikenal dekat dengan pelaku usaha. Fokusnya pada kelancaran pasokan. Di bawahnya, impor melonjak hingga 6 juta ton pada 2022.
Zulkifli Hasan memimpin pada 2023–2024. Volume impor masing-masing 5,07 juta ton dan 5,31 juta ton. Meski naik sedikit, nilai impor 2024 paling tinggi: US$3,03 miliar.

Zulhas bilang, impor perlu dilakukan untuk jaga stok dan tekan inflasi.
Siapa pun menterinya, Indonesia tetap bergantung pada gula impor. Angka fluktuatif menunjukkan banyak faktor ikut bermain. Dari harga dunia, panen lokal, sampai tekanan industri.(*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin