Produksi Nikel Indonesia Tembus 2,2 Juta Ton, Harga Dunia Anjlok

kaltimes.com
5 Agu 2025
Share

LANGIT-LANGIT pabrik mendengung tanpa henti. Truk-truk tambang melintas siang dan malam. Dari Morowali hingga Obi, Indonesia terus menggali dan mengolah nikel dalam jumlah luar biasa. Namun, di balik gegap gempita hilirisasi, muncul pertanyaan besar: apakah semua ini menguntungkan?

Produksi nikel Indonesia memang naik drastis dalam lima tahun terakhir. Sejak pemerintah melarang ekspor bijih mentah pada 2020, investasi asing membanjiri kawasan industri nikel. Hasilnya, pasokan nikel global melonjak. Tapi justru karena itulah, harga nikel dunia kini jatuh, bahkan mencapai titik terendah sejak 2021.

Menurut GlobalData, Indonesia mendominasi daftar tambang nikel terbesar dunia pada 2023. Proyek Weda Bay di Maluku, milik Tsingshan Holding Group, memimpin dengan produksi 516.700 ton. Lalu ada PT Halmahera Persada Lygend di Maluku Utara yang menyumbang lebih dari 95.000 ton. Tambang Sorowako milik PT Vale Indonesia di Sulawesi juga aktif, dengan produksi 64.100 ton. Secara total, Indonesia menguasai lebih dari separuh produksi nikel dari 10 tambang terbesar dunia.

Data dari United States Geological Survey (USGS) menunjukkan lonjakan besar sejak 2020. Produksi nikel Indonesia naik dari 771 ribu ton (2020) menjadi 2,2 juta ton (2024, estimasi). Sementara negara lain stagnan atau bahkan menurun.

Kenaikan ini terjadi berkat hilirisasi, insentif investasi, dan pabrik pemurnian baru. Tapi kelebihan pasokan (oversupply) jadi efek samping. Harga nikel global merosot. Untuk mengatasinya, para ahli menyarankan agar Indonesia mulai mengerem produksi. Misalnya, menaikkan biaya produksi melalui standar lingkungan yang lebih ketat dan tarif ekspor.

Untuk melihat tren ke depan, digunakan model regresi linier. Ini adalah metode statistik sederhana yang menghubungkan antara waktu (tahun) dan jumlah produksi. Hasilnya, diprediksi produksi nikel Indonesia akan mencapai 1,8 juta ton pada 2025 dan 2 juta ton pada 2026. Model ini akurat dengan tingkat kesalahan sekitar 565 ribu ton. Meski tidak menangkap lonjakan ekstrem, model ini memberi gambaran pertumbuhan stabil jika tidak ada intervensi kebijakan baru.

Pertanyaannya sekarang: mampukah Indonesia memengaruhi harga nikel dunia? Penelitian dari Transisi Bersih menyatakan bisa. Indonesia kini menguasai lebih dari 60 persen produksi global dan 42 persen cadangan nikel dunia. Selain itu, permintaan nikel cenderung tidak sensitif terhadap harga. Artinya, menaikkan harga tidak akan langsung menurunkan konsumsi. Maka, menaikkan biaya produksi bisa menjadi alat kontrol pasokan dan harga sekaligus mendorong komitmen lingkungan. Langkah seperti transisi ke energi terbarukan, pencabutan insentif, dan tarif ekspor bisa menyeimbangkan pasar serta memperkuat pendanaan transisi energi Indonesia.

Namun, semua itu hanya bisa terwujud jika pemerintah dan industri bersatu. Tanpa sinergi, risiko kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan jebakan harga murah akan terus membayangi. Indonesia harus menentukan: ingin jadi penambang besar, atau pengatur harga global?(*)

Penulis Dwi Lena Irawati
Editor: Amin