SETIAP tahun, Kalimantan Timur menghadapi persoalan yang terkesan sepele. Namun hal ini dapat berdampak langsung pada konsumsi rumah tangga yaitu defisit daging ayam. Sejak 2020, jumlah produksi daging ayam di provinsi ini tidak pernah mampu mengejar tingkat konsumsinya.
Ketidakseimbangan ini bukan sekadar angka, tapi menyangkut ketahanan pangan dan keterjangkauan harga bahan pokok. Jika tidak segera diatasi, defisit ini bisa memicu ketergantungan pada pasokan dari luar daerah dan memengaruhi stabilitas pasar lokal.
Dari seluruh kabupaten dan kota di Kaltim, Kota Samarinda menjadi lumbung utama produksi daging ayam. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Timur (DPKH Kaltim) 2024, Samarinda mencatatkan volume produksi daging ayam tertinggi di Kaltim. Hal ini berlangsung secara konsisten sepanjang 2020 hingga 2024.
Produksi daging ayam di Samarinda meningkat signifikan dari 14,6 ribu ton pada 2020 menjadi 20,5 ribu ton pada 2024. Disusul oleh Balikpapan yang pada 2024 memproduksi 15,4 ribu ton dan Berau 11 ribu ton. Dominasi produksi daging ayam oleh Samarinda belum mampu menutup celah kebutuhan regional yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Secara keseluruhan, produksi daging ayam di Kalimantan Timur menunjukkan peningkatan. Dari 55,3 ribu ton pada 2020, jumlah ini naik menjadi 65,2 ribu ton pada 2024. Meski demikian, angka tersebut selalu berada di bawah total konsumsi tahunan. Pada 2020, konsumsi daging ayam tercatat sebesar 60,4 ribu ton. Nilai ini menunjukkan defisit lebih dari 5 ribu ton, atau sekitar minus 9 persen dari kebutuhan tahun tersebut.
Ketimpangan semakin melebar pada 2024, dengan konsumsi mencapai 72,2 ribu ton dan produksi hanya 65,2 ribu ton. Artinya, kebutuhan masyarakat akan daging ayam terus tumbuh, tapi laju produksinya tak mampu mengimbangi.

Untuk mengetahui apakah tren defisit akan berlanjut pada 2025, dilakukan prediksi menggunakan regresi linear sederhana terhadap data tahun 2020–2024. Pemilihan metode ini didasarkan pada karakteristik regresi linear yang cocok untuk jumlah data yang relatif sedikit, namun memiliki pola tren konsisten. Selain itu, regresi linear juga sering digunakan dalam analisis prediktif sektor pangan karena kesederhanaan dan interpretasinya yang kuat.
Penggunaan regresi linear dalam prediksi produksi pangan telah didukung berbagai studi. Salah satunya adalah jurnal “Forecasting Agricultural Commodity Production Using Simple Linear Regression Method” oleh K.P. Arulmozhi dan M. Rajalakshmi (2020). Studi ini menunjukkan bahwa regresi linear mampu memberikan hasil prediktif yang akurat, terutama saat digunakan pada data historis dengan jumlah terbatas.
Hasil prediksi regresi linear menunjukkan produksi daging ayam Kaltim 2025 diperkirakan naik dari 2024. Jumlah produksinya diproyeksikan mencapai 67,3 ribu ton. Prediksi ini menggunakan data historis produksi tahun 2020 hingga 2024 sebagai variabel bebas. Data tersebut merepresentasikan tren pertumbuhan produksi selama lima tahun terakhir. Model ini menghasilkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 687,52 ton. Angka ini menunjukkan rata-rata kesalahan prediksi terhadap nilai aktual masih dalam batas wajar untuk skala produksi provinsi.
Sementara itu, konsumsi daging ayam pada 2025 diprediksi mencapai 75,8 ribu ton. Perkiraan ini juga menggunakan data konsumsi tahun 2020–2024 sebagai variabel bebas. Model ini menghasilkan nilai RMSE sebesar 1,17 ribu ton. Nilai RMSE yang lebih tinggi pada konsumsi menunjukkan adanya fluktuasi kebutuhan yang lebih dinamis dibandingkan produksi.
Dengan hasil ini, Kalimantan Timur diperkirakan masih mengalami defisit sekitar 8,5 ribu ton daging ayam pada 2025, atau setara dengan -11,2 persen dari total kebutuhan. Artinya, tanpa intervensi signifikan untuk meningkatkan produksi lokal, kondisi ini sulit berubah.
Ketergantungan terhadap pasokan dari luar daerah kemungkinan besar akan terus berlanjut.
Defisit ini terus berlanjut karena stagnasi pertumbuhan peternakan ayam lokal. Meskipun populasi ayam di Kaltim mencapai sekitar 63,97 juta ekor pada 2021, provinsi ini masih mengalami defisit dalam memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah populasi ayam yang besar tidak serta-merta menjamin kecukupan produksi daging ayam untuk memenuhi permintaan masyarakat. (https://www.sapos.co.id/metropolis/2454187009/telur-aman-daging-defisit-penuhi-kebutuhan-kaltim-masih-mengandalkan-impor, Sapos, 2022)
Meski produksi daging ayam di Kalimantan Timur meningkat, defisit yang berlanjut menunjukkan ketimpangan antara produksi dan konsumsi. Proyeksi untuk tahun 2025 memperkirakan Kalimantan Timur masih akan mengalami defisit sekitar 8,5 ribu ton dari total kebutuhan. Stagnasi pertumbuhan peternakan ayam lokal menjadi salah satu penyebab utama ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi regional. Meskipun populasi ayam cukup besar, produksi tetap tidak mencukupi. Tanpa intervensi untuk meningkatkan produksi lokal, ketergantungan pada pasokan luar daerah akan terus berlanjut. Strategi pengembangan sektor peternakan yang efektif sangat dibutuhkan untuk menjaga ketahanan pangan di Kalimantan Timur. (*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin