PDRB Kaltim Rp 212 Juta Per Kapita, Benarkah Sebagian Besar Kekayaannya Dikuasai Segelintir Orang?

kaltimes.com
10 Apr 2025
Share

KALIMANTAN Timur (Kaltim) menempati peringkat kedua sebagai provinsi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita tertinggi di Indonesia pada 2024. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) diakses pukul 18.57 Wita, 10 Maret 2025, PDRB Kaltim mencapai Rp 212,18 juta per kapita. Kaltim hanya kalah dari DKI Jakarta yang mencatat angka Rp 344,35 juta. Jakarta menduduki peringkat pertama berkat dominasi sektor jasa dan perdagangan yang menopang perekonomian nasional.

Selain Jakarta dan Kaltim, provinsi lain dengan PDRB per kapita tinggi adalah Kalimantan Utara (Rp 198,43 juta), Riau (Rp 165,35 juta) dan Kepulauan Riau (Rp 161,42 juta). Kesamaan utama dari provinsi-provinsi ini adalah kekayaan sumber daya alam, terutama minyak bumi, batu bara, dan kelapa sawit, yang menjadi pilar utama ekonomi mereka. Hal ini dibuktikan dari data BPS 2024, sektor pertambangan dan penggalian menyumbang lebih dari 40 persen terhadap PDRB Kaltim, Kalimantan Utara, Riau, dan Kepulauan Riau.

Jakarta adalah satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang masuk dalam daftar provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi. Namun, provinsi di Jawa tetap unggul dalam aspek infrastruktur, pendidikan, dan industri manufaktur yang beragam.

Data BPS 2024 menunjukkan bahwa 6 dari 10 provinsi dengan akses infrastruktur terbaik berada di Pulau Jawa, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Selain itu, Pulau Jawa juga memiliki jumlah universitas terakreditasi A terbanyak di Indonesia, berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tahun 2024.

Dari laporan BPS 2024, industri manufaktur di Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta menyumbang lebih dari 50 persen dari total produksi manufaktur nasional, dengan sektor unggulan seperti otomotif, elektronik, dan tekstil. Keunggulan sektor industri ini menciptakan ekonomi yang lebih stabil, membuka lebih banyak lapangan kerja, dan meningkatkan akses layanan publik.

Meski memiliki PDRB per kapita tinggi, kesejahteraan masyarakat tidak selalu merata. Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2024 mencatat bahwa DKI Jakarta (81,65), DI Yogyakarta (80,22), dan Jawa Tengah (76,73) memiliki IPM lebih tinggi dibandingkan Kaltim (76,43) dan Riau (75,12). IPM mengukur kualitas hidup berdasarkan kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan ekonomi tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan, sehingga provinsi seperti Kalimantan Timur masih perlu memperkuat sektor layanan publik dan pembangunan sosial.

Sebagai salah satu provinsi dengan kekayaan sumber daya alam terbesar, ekonomi Kaltim sangat bergantung pada industri pertambangan, terutama batu bara dan minyak bumi. Tambang batu bara di Samarinda, Kutai Kartanegara, dan Berau menjadi motor utama ekonomi daerah, dengan sebagian besar produksinya diekspor ke luar negeri (Tempo, 2024).

Namun, keuntungan besar dari sektor ini lebih banyak dinikmati oleh perusahaan asing dan nasional berbasis di luar Kaltim, sementara masyarakat lokal hanya memperoleh dampak ekonomi yang terbatas. Produksi batu bara di Kaltim dikelola oleh perusahaan multinasional seperti PT Kaltim Prima Coal (dimiliki oleh Bumi Resources dan Tata Power dari India) serta PT Berau Coal Energy yang memiliki keterkaitan dengan modal asing (Kompas, 2024).
Sementara itu, menurut sumber yang sama, perusahaan dalam negeri seperti PT Bukit Asam dan PT Pertamina hanya mengelola sebagian kecil dari total produksi. Akibatnya, masyarakat lokal sering kali hanya mendapat manfaat terbatas berupa pekerjaan dan royalti, sementara keuntungan besar mengalir ke pemilik modal dari luar daerah bahkan luar negeri.

Meskipun memiliki ekonomi yang kuat, Kaltim menghadapi tantangan besar dalam mendiversifikasi sumber pendapatannya. Ketergantungan pada batu bara dan minyak bumi menjadi risiko jika harga komoditas global turun atau terjadi kebijakan energi hijau yang mengurangi permintaan terhadap bahan bakar fosil. Studi Ross (2012) dalam bukunya The Oil Curse: How Petroleum Wealth Shapes the Development of Nations menyebutkan bahwa ketergantungan berlebihan pada industri ekstraktif dapat memperlambat perkembangan sektor lain dan meningkatkan ketimpangan sosial.

Kaltim menempati peringkat kedua sebagai provinsi dengan PDRB tertinggi di Indonesia, tetapi tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih tertinggal dibandingkan provinsi lain dengan PDRB rendah. Perekonomiannya masih bergantung pada sektor pertambangan sebagai tulang punggung utama. Ketergantungan terhadap sumber daya alam ini menimbulkan tantangan besar bagi keberlanjutan ekonomi daerah. Fluktuasi harga komoditas global atau kebijakan energi hijau yang mengurangi permintaan bahan bakar fosil dapat memberikan dampak negatif bagi perekonomian Kaltim.

Selain itu, rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kaltim menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi belum terdistribusi secara optimal kepada masyarakat. Kurangnya investasi di pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur dasar menghambat peningkatan kualitas hidup warga Kaltim. Minimnya investasi pada sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial turut menjadi faktor penghambat peningkatan kesejahteraan rakyat setempat.

Penulis: Dwi Lena Irawati
Editing: Amin