SEKTOR perkebunan di Kalimantan Timur sedang menghadapi paradoks besar. Produksi meningkat tajam, tapi hanya satu komoditas yang benar-benar mendominasi, yaitu kelapa sawit. Di balik angka yang terlihat mengesankan, tersembunyi cerita tentang ketimpangan yang perlu jadi perhatian serius.
Perkebunan bukanlah sektor biasa. Ia memegang peran strategis dalam struktur ekonomi Kalimantan Timur. Tak hanya menyumbang devisa dan menjadi pemasok bahan baku industri, sektor ini juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan menopang kehidupan jutaan masyarakat di pedesaan. Provinsi Kalimantan Timur dikenal memiliki lima komoditas unggulan: kelapa sawit, karet, kelapa dalam, kakao, dan lada.
Kenaikan harga kelapa sawit sepanjang 2024 mendorong lonjakan produksi di Kalimantan Timur. Data Dinas Perkebunan yang diakses pukul 09.14 Wita pada 10 April 2025 menunjukkan bahwa pada periode 16 hingga 31 Oktober 2024, harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit untuk pohon berumur 10 tahun ke atas mencapai Rp 2.952,18 per kilogram, naik Rp 61,7 dari periode sebelumnya. Sementara itu, harga komoditas perkebunan lainnya cenderung stagnan bahkan menurun, menegaskan dominasi kelapa sawit dalam sektor perkebunan.
Tren kenaikan harga ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa meskipun luas lahan perkebunan di Kalimantan Timur menyusut dari 1,95 juta hektare pada 2023 menjadi 1,69 juta hektare di 2024, total produksi tetap tinggi, mencapai 22,19 juta ton. Penurunan luas lahan tanpa penurunan produksi ini mengindikasikan peningkatan produktivitas, terutama didorong oleh lonjakan hasil kelapa sawit akibat tingginya harga jual. Kondisi ini menjadi dasar penting untuk melakukan analisis prediktif terhadap produksi perkebunan tahun 2025.
Salah satu metode yang digunakan adalah regresi linear, teknik statistik untuk memprediksi nilai suatu variabel berdasarkan hubungan linier dengan satu atau lebih variabel lainnya. Dalam konteks produksi perkebunan di Kalimantan Timur, regresi linear relevan karena data historis menunjukkan pola yang relatif stabil dari tahun ke tahun. Selain itu, metode ini efektif meskipun data yang tersedia terbatas. Efektivitas regresi linear dibuktikan dalam studi oleh Patel dan Mehta (2014), berjudul “Application of Multiple Linear Regression in Forecasting Agricultural Crop Production”, yang menunjukkan bahwa metode regresi linear mampu menghasilkan prediksi akurat pada sektor pertanian berbasis data musiman dan historis.
Berdasarkan penggunaan metode regresi linear, produksi perkebunan Kalimantan Timur pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 24,03 juta ton. Prediksi ini dihitung menggunakan data historis dari empat komoditas utama (kelapa sawit, kelapa dalam, kakao dan karet) sebagai variabel bebas. Dengan nilai Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 0,969 juta ton. Artinya, angka sebenarnya diperkirakan berada dalam rentang antara 23,061 juta ton hingga 25,0 juta ton. Hasil ini menunjukkan bahwa prediksi cukup akurat dan dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk melihat tren produksi ke depan.
Dari total 24,03 juta ton produksi yang diperkirakan pada tahun 2025, sekitar 23,79 juta ton atau 99 persen diantaranya berasal dari kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit berkontribusi besar terhadap ekonomi daerah melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan. Komoditas ini juga menjadi penyumbang devisa negara yang signifikan. Studi “The livelihood impacts of oil palm: smallholders in Indonesia” oleh Rist et al. (2010) menunjukkan bahwa sawit berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan petani, terutama di luar Pulau Jawa.

Di balik dampak positif tersebut, industri kelapa sawit juga memunculkan berbagai tantangan lingkungan dan sosial. Penelitian Ostfeld dan Reiner (2024) berjudul “Palm Oil Expansion and Biodiversity Loss in Tropical Forests” mengungkap bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati di hutan tropis. Selain itu, terdapat emisi gas rumah kaca yang tinggi akibat konversi hutan menjadi lahan sawit, khususnya dalam produksi biodiesel.
Tidak hanya itu, ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur telah memicu konflik sosial. Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Timur mencatat konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan di beberapa wilayah, seperti Kutai Kartanegara, akibat klaim kepemilikan yang tumpang tindih. Konflik ini mencerminkan tantangan pengelolaan lahan dan pentingnya perlindungan hak masyarakat adat di tengah ekspansi sawit. (https://disbun.kaltimprov.go.id/artikel/antisipasi-dampak-perkebunan-sawit, Dinas Perkebunan, 2014)
Untuk menanggulangi konflik sosial akibat ekspansi sawit, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Perkebunan berhasil menyelesaikan 13 kasus konflik lahan sepanjang 2023. Disbun juga rutin menggelar pertemuan koordinasi dan bimbingan teknis mediasi guna meningkatkan kapasitas penyelesaian konflik secara damai, dengan melibatkan dinas kabupaten/kota serta pihak independen seperti Impartial Mediator Network (https://disbun.kaltimprov.go.id/artikel/konflik-usaha-perkebunan-harus-diatasi-dengan-serius , Dinas Perkebunan, 2023).
Produksi perkebunan Kaltim diprediksi mencapai 24,03 juta ton pada 2025 berdasarkan model regresi linear, dengan kelapa sawit sebagai penyumbang utama (99 persen). Lonjakan harga TBS mendorong produktivitas meski luas lahan menyusut. Namun, ekspansi sawit memicu deforestasi dan konflik sosial akibat tumpang tindih klaim lahan. Sepanjang 2023, Disbun Kaltim menyelesaikan 13 konflik bersama Impartial Mediator Network. Meski patut diapresiasi, upaya ini belum menyentuh akar masalah, seperti lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan kurangnya transparansi perizinan lahan. (*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin