SEKTOR pertanian di Provinsi Kalimantan Timur mencatat dinamika menarik dalam kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 2020–2024. Sektor ini mencakup berbagai subsektor, di antaranya tanaman pangan seperti padi dan jagung; hortikultura; serta perkebunan seperti kelapa sawit, kelapa, kakao, dan karet.
Berdasarkan data Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalimantan Timur 2025–2029, dalam lima tahun terakhir kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sempat menurun. Pada 2020, kontribusinya tercatat sebesar 8,8 persen, lalu turun ke titik terendah 7,04 persen pada 2022, sebelum kembali naik menjadi 8,66 persen pada 2024.

Dalam dokumen rencana awal (ranwal) RPJMD dijelaskan bahwa turunnya porsi pertanian bukan sepenuhnya karena sektor ini melemah. Penurunan tersebut lebih disebabkan oleh lonjakan pertumbuhan sektor pertambangan. Pertumbuhan pesat di sektor pertambangan membuat kontribusi pertanian terhadap total PDRB terlihat lebih kecil secara komposisi.
PDRB mencerminkan proporsi kontribusi tiap sektor terhadap perekonomian daerah. Artinya, ketika sektor lain seperti pertambangan mengalami pertumbuhan pesat, maka sektor lain seperti pertanian bisa terlihat menurun porsinya, meskipun nilai sektoralnya tetap stabil atau bahkan meningkat.
Meski kontribusinya kecil, pertumbuhan ekonomi sektor pertanian menunjukkan pemulihan. Setelah mencatat penurunan dua tahun berturut-turut sebesar minus 0,98 persen pada 2020 dan minus 0,08 persen pada 2021, pertumbuhan kembali positif sejak 2022. Angkanya mencapai 1,96 persen pada 2022, naik menjadi 2,49 persen pada 2023 dan sedikit menurun ke 2,38 persen di 2024.
Fenomena ketidakseimbangan antara kontribusi PDRB dan laju pertumbuhan menjadi sorotan. Misalnya, di tahun 2022 kontribusi terhadap PDRB justru turun saat pertumbuhan mulai positif. Hal ini menandakan sektor lain tumbuh lebih cepat sehingga porsi pertanian pada PDRB tetap kecil.
Ketimpangan ini menunjukkan pentingnya analisis yang fokus pada produksi pertanian, bukan hanya angka PDRB atau pertumbuhan ekonomi.
Untuk melihat pola historis produksi sekaligus mempertimbangkan pengaruh variabel eksternal, seperti jenis komoditas yang turut memengaruhi fluktuasi total produksi pertanian, maka dapat digunakan metode Seasonal AutoRegressive Integrated Moving Average with eXogenous regressors (SARIMAX). Metode ini diperkenalkan oleh Paul S. P. Cowpertwait dan Andrew V. Metcalfe dalam buku Introductory Time Series with R (2009).
SARIMAX bekerja dengan menggabungkan komponen tren dan musiman dari data deret waktu (seperti ARIMA), lalu menambahkan variabel eksternal (exogenous variables) yang diasumsikan turut memengaruhi nilai yang diprediksi. Dengan kata lain, metode ini tidak hanya mengandalkan data historis variabel target, tetapi juga mempertimbangkan pengaruh faktor luar yang relevan. Rumus umum SARIMAX dapat dinyatakan sebagai berikut:
yt = c + φ1·yt−1 + … + φp·yt−p + θ1·εt−1 + … + θq·εt−q + β·Xt + st + εt
di mana:
yt = nilai aktual pada waktu t
c = konstanta
φ = koefisien autoregresif (AR)
θ = koefisien moving average (MA)
Xt = variabel eksternal (exogenous)
st = komponen musiman
εt = error (white noise)
Model SARIMAX cocok digunakan untuk memprediksi produksi pertanian, karena sektor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis tanaman, musim dan harga. Studi oleh Ramos dan Rodríguez (2021) dalam Journal of Agricultural Economics and Statistics menunjukkan bahwa SARIMAX efektif dalam memprediksi hasil panen ketika faktor eksternal seperti curah hujan dan penggunaan pupuk turut diperhitungkan.
SARIMAX dipilih untuk memodelkan produksi pertanian karena mampu mempertimbangkan berbagai variabel bebas, seperti beragam jenis komoditas. Komoditas yang dimaksud adalah tanaman pangan berupa padi dan jagung; hortikultura berupa pisang, pepaya, jeruk, bawang, cabai dan sejenisnya; serta perkebunan berupa kelapa sawit, kelapa, kakao, karet dan sejenisnya.
Jika menggunakan metode SARIMAX berdasarkan data yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11.59 WITA, 8 April 2025, maka dapat diperkirakan produksi pertanian Kalimantan Timur tahun 2025 sebesar 3.629,54 ribu ton. Nilai ini menunjukkan tren pemulihan dibandingkan realisasi tahun 2024 yang hanya mencapai 3.598,6 ribu ton.
Namun, metode ini masih memiliki tingkat galat yang cukup besar. Untuk prediksi tahun 2024, SARIMAX menghasilkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 513 ribu ton. Dalam konteks ini, artinya terdapat selisih rata-rata sekitar 500 ribu ton antara prediksi dan realisasi produksi pertanian di Kalimantan Timur.
RMSE dihitung dengan rumus:
RMSE = sqrt( (1/n) × Σ (yi – ŷi)² )
di mana yi adalah nilai aktual, ŷi adalah nilai prediksi, dan n adalah jumlah data. Metrik ini mengukur seberapa jauh prediksi menyimpang dari nilai aktual.
Meskipun SARIMAX unggul dalam mengakomodasi variabel luar, model ini tetap memiliki kekurangan. Ia tetap berbasis data historis. Tidak sepenuhnya mampu menangkap kejutan ekonomi atau perubahan struktural yang drastis. Selain itu, akurasi model bergantung pada kualitas data yang digunakan. Ketiadaan data eksternal seperti curah hujan dan pupuk membuat hasil prediksi kurang optimal.
Sepanjang 2020–2024, sektor pertanian Kalimantan Timur menunjukkan tren pemulihan dari sisi pertumbuhan, meskipun kontribusinya terhadap PDRB masih tertinggal akibat dominasi sektor lain, terutama pertambangan. Tren ini juga tercermin dari sisi produksi, di mana prediksi tahun 2025 mencapai 3.629,54 ribu ton. Produksi ini naik dibandingkan realisasi tahun 2024 yang hanya 3.598,6 ribu ton. Meski demikian, akurasi prediksi model SARIMAX terhadap data 2024 masih rendah. Dapat dilihat dari nilai RMSE sebesar 513 ribu ton. Selisih ini mengindikasikan bahwa model masih kesulitan menangkap fluktuasi tajam akibat faktor eksternal yang tidak tercakup dalam data yang tersedia.
Keterbatasan data eksternal penting, seperti curah hujan dan pupuk membuat model kurang responsif terhadap perubahan mendadak dalam produksi. Oleh karena itu, selain memperbaiki model prediksi, upaya nyata seperti penguatan irigasi dan jaminan ketersediaan pupuk perlu dilakukan. Selain itu, pelatihan dan pendampingan teknis bagi petani juga penting agar mereka lebih adaptif terhadap perubahan iklim dan dinamika pasar. (*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin