
SETIAP demonstrasi selalu menyimpan potensi ketegangan. Di balik teriakan massa dan barisan aparat, gesekan sering berubah menjadi kekerasan yang melukai warga.
Beberapa waktu belakangan, publik menyaksikan brutalitas aparat saat mengawal aksi protes. Alih-alih meredakan massa, polisi justru memperkeruh keadaan. Akibatnya, tindakan keras aparat menambah ricuh suasana.
Menurut siaran pers Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pada Agustus-September 2025 polisi menangkap 3.337 orang. Selain itu, 1.042 orang mengalami luka-luka dan 10 orang meninggal akibat kekerasan aparat dalam penanganan demonstrasi. Kondisi ini menjadi preseden buruk dan sekaligus mencerminkan kegagalan Polri dalam bersikap humanis.
Peristiwa kekerasan polisi bukan hal baru. Berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dalam lima tahun terakhir ada 3.197 kejadian. Pada Juni 2020-Mei 2021, polisi mencatat 651 tindakan kekerasan terhadap warga sipil.
Pada periode berikutnya, Juli 2021-Juni 2022, jumlah kasus meningkat menjadi 677 peristiwa. Sementara itu, pada Juli 2022-Juni 2023, angka kekerasan masih tinggi dengan 622 kejadian.
Memasuki Juli 2023-Juni 2024, jumlah kasus kembali naik menjadi 645. Terakhir, pada Juli 2024-Juni 2025, polisi tetap melakukan kekerasan sebanyak 602 peristiwa.

Rangkaian angka itu menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Aparat yang seharusnya melindungi masyarakat justru berulang kali melukai warga. Oleh karena itu, reformasi dan transparansi Polri menjadi kebutuhan mendesak.
Masalah lain muncul dari sisi penegakan hukum. Dilansir Hukum Online, hukuman untuk pelaku kerap tidak setimpal. Kasus Brimob yang menabrak Affan Kurniawan menjadi contoh nyata. Dua pelaku hanya mendapat sanksi pemecatan dan demosi tujuh tahun. Padahal, KUHP menyebut pembunuhan bisa dipidana hingga 15 tahun penjara.
Meski begitu, harapan perubahan masih terbuka. Institusi kepolisian harus segera mengembalikan kepercayaan publik dengan menegakkan hukum secara adil, bahkan kepada anggotanya sendiri. (*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin