Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online Tembus 665 Perkara Kuartal II 2025

kaltimes.com
25 Sep 2025
Share

DUNIA digital ternyata tidak sepenuhnya aman. Layar yang seharusnya menjadi ruang ekspresi justru berubah menjadi tempat rentan bagi kekerasan berbasis gender.

Teknologi digital kini melekat dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, banyak orang masih abai melindungi hak asasi manusia di ruang digital. Akibatnya, kekerasan berbasis gender online (KBGO) terus meningkat.

Bentuknya beragam, mulai dari sextortion atau pemerasan seksual, penyebaran konten intim tanpa izin, manipulasi konten dengan kecerdasan buatan (AI), hingga doxing berbasis gender. Ada juga kasus flaming berupa serangan verbal bernuansa seksis serta impersonation, yaitu pembuatan akun tiruan untuk merusak reputasi korban.

Laporan Pemantauan Hak-Hak Digital Triwulan II 2025 dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat 665 aduan KBGO sepanjang Kuartal II 2025. SAFEnet menghimpun data melalui platform aduan, saluran bantuan, serta pemantauan media massa dan media sosial.

Ancaman penyebaran konten menempati posisi teratas dengan total 312 aduan. Pelaku biasanya memanipulasi panggilan video korban lalu mengancam akan menyebarkan hasil manipulasi itu.

Kasus pemerasan seksual atau sextortion menempati urutan kedua dengan 211 aduan. Pelaku meminta uang atau barang agar konten intim korban tidak dipublikasikan.

Sebanyak 58 aduan masuk kategori penyebaran konten intim tanpa izin (NCII). Bentuk penyebaran ini makin mengkhawatirkan karena tidak hanya untuk tujuan komersial, tetapi juga pertukaran konten.

Sebanyak 27 korban melaporkan kasus rekayasa konten atau morphing. Pelaku memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat konten intim palsu dari foto atau video korban.

Selain itu, tercatat 19 aduan doxing berbasis gender dan 17 aduan penyerangan personal (flaming). Ada juga 11 laporan lain dengan jenis berbeda. Sebanyak 10 korban melaporkan kasus pembuatan akun tiruan (impersonation) yang digunakan untuk menyebarkan informasi palsu atau merusak reputasi.

Lonjakan kasus ini menegaskan bahwa ruang digital di Indonesia belum aman bagi semua kelompok. Masyarakat perlu meningkatkan literasi digital, sementara pemerintah harus memperkuat perlindungan dan penegakan hukum.

Dulu perjuangan hadir di jalanan, kini keberanian juga dibutuhkan untuk melawan kekerasan di dunia digital. (*)


Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin