Kalimantan Timur Jadi Pasar Baru Narkoba di Tengah Pembangunan IKN

kaltimes.com
22 Sep 2025
Share

PEMBANGUNAN IKN di Kalimantan Timur dibayangi gelapnya peredaran narkoba. Ribuan kasus terungkap, menunjukkan daerah ini bukan lagi sekadar jalur singgah, tetapi sudah menjadi pasar utama bagi jaringan narkoba.

Narkoba dikenal sebagai zat berbahaya yang merusak kesehatan, sekaligus menimbulkan dampak sosial dan ekonomi. Pemerintah Indonesia mengaturnya melalui UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Zat ini, baik alami maupun sintetis, dapat menurunkan kesadaran dan menimbulkan ketergantungan.

Data Pengguna dan Pengedar

Indonesia Drug Report 2025 mencatat 141.016 orang mendekam di tahanan karena kasus narkoba. Dari jumlah itu, 76.712 orang berperan aktif sebagai bandar, pengedar, penadah, atau produsen. Sementara itu, 64.304 orang lain masuk tahanan karena memakai narkoba.

Pengedar mendominasi rantai peredaran. Jumlah mereka lebih banyak daripada pengguna. Fakta ini menegaskan bahwa persoalan narkoba di Indonesia lebih besar pada distribusi, bukan hanya konsumsi.

Sumatra Utara menempati posisi tertinggi dengan 19.378 tahanan, Jawa Timur menyusul dengan 13.917 orang, lalu Jawa Barat dengan 10.989 orang. Riau dan DKI Jakarta melengkapi lima besar. Kalimantan Timur berada di posisi keenam dengan 7.979 tahanan.

Jika dihitung, rata-rata lebih dari 21 orang per hari masuk tahanan narkoba di Kalimantan Timur. Angka ini melampaui provinsi lain di Kalimantan dan menunjukkan bahwa Kalimantan Timur sudah menjadi pasar narkoba nyata, bukan sekadar jalur lintasan.

Kasus Tindak Pidana

Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menjadi garda depan dalam penindakan narkoba. Polri rutin membongkar kasus dari tingkat lokal hingga nasional. BNN lebih fokus menindak jaringan besar lintas daerah atau internasional.

Sepanjang 2024, kedua lembaga itu berhasil mengungkap 46.748 kasus narkoba. Jumlah tersebut naik 9,2 persen dibanding 2023 yang mencatat 42.785 kasus. Dari total itu, Polri menyumbang 46.080 kasus, sedangkan BNN menindak 668 kasus. Selisih besar ini memperlihatkan dominasi Polri di lapangan.

Jakarta menduduki peringkat pertama dengan 6.941 kasus. Dari jumlah itu, Polri membongkar 6.913 kasus dan BNN menindak 28 kasus. Jawa Timur berada di urutan kedua dengan 5.593 kasus, lalu Sumatra Utara di posisi ketiga dengan 5.540 kasus.

Di luar tiga besar, Jawa Barat mencatat 3.144 kasus, Sulawesi Selatan 2.585 kasus, Riau 2.316 kasus, dan Kalimantan Timur 1.810 kasus. Dari jumlah di Kalimantan Timur, Polri mengungkap 1.778 kasus, sedangkan BNN menangani 32 kasus.

Kalimantan Timur menempati posisi teratas di Kalimantan untuk jumlah kasus narkoba. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, rasio kasus di Kalimantan Timur lebih besar daripada Lampung, Sumatra Selatan, atau Kalimantan Selatan.

Fakta ini menegaskan dua hal: aparat di Kalimantan Timur cukup aktif melakukan operasi, tetapi jaringan narkoba juga semakin subur seiring arus pekerja dan perputaran uang akibat pembangunan IKN.

Rehabilitasi Narkoba

Program rehabilitasi di Indonesia terbagi menjadi tiga bentuk. Rawat jalan berlaku bagi pengguna ringan dengan jadwal konseling rutin. Rawat inap menampung pasien kecanduan berat di pusat rehabilitasi. Sementara itu, Intervensi Berbasis Masyarakat (IBM) memanfaatkan dukungan komunitas dan kegiatan sosial untuk pemulihan jangka panjang.

Sepanjang 2024, tercatat 14.387 pasien mengikuti rehabilitasi narkoba di seluruh Indonesia. Jawa Barat berada di posisi teratas dengan 1.621 pasien, terdiri dari 801 rawat jalan, 630 rawat inap, dan 190 IBM.

Sumatra Utara menempati posisi kedua dengan 1.583 pasien. Dari jumlah itu, 1.327 menjalani rawat jalan, 97 rawat inap, dan 168 IBM. Sulawesi Selatan menyusul di peringkat ketiga dengan 1.100 pasien, mayoritas menjalani rawat jalan.

DKI Jakarta mencatat 765 pasien, seluruhnya hanya mengikuti rawat jalan dan IBM. Jawa Timur melaporkan 747 pasien, tanpa layanan rawat inap. Lampung memiliki 593 pasien, dengan proporsi rawat inap cukup besar.

Kalimantan Timur menempati posisi ketujuh dengan 572 pasien, terdiri dari 284 rawat jalan, 251 rawat inap, dan 37 IBM. Jika dibandingkan dengan 7.979 tahanan narkoba di Kalimantan Timur, hanya sekitar 7 persen yang masuk jalur rehabilitasi. Fakta ini menegaskan mayoritas kasus masih berakhir dengan hukuman pidana, bukan pemulihan kesehatan.

Rendahnya angka rehabilitasi mencerminkan dua masalah. Pertama, fasilitas pemulihan masih terbatas. Kedua, stigma terhadap pengguna tetap kuat sehingga pendekatan kesehatan publik belum mendapat prioritas. Tanpa rehabilitasi yang memadai, risiko pengguna kembali terjerat narkoba tetap tinggi.

Analisis dan Tantangan

Lonjakan kasus di Kalimantan Timur menjadi alarm serius di tengah pembangunan IKN. Daerah yang dipadati arus penduduk dan ekonomi baru rentan dimanfaatkan jaringan narkoba. Jika situasi ini dibiarkan, peredaran narkoba bisa merusak generasi muda sekaligus mengganggu stabilitas sosial di kawasan strategis.

Pemberantasan narkoba kini tidak cukup dengan penegakan hukum. Pencegahan dan rehabilitasi harus berjalan seiring agar Kalimantan Timur tidak kehilangan generasi produktifnya.

Dulu Indonesia diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini saatnya generasi kita dijaga dari jerat narkoba.(*)


Penulis: Dwi Lena Irawati