Stagnasi Rehabilitasi, Hutan Kaltim Kian Rusak: Apakah Devisa Lebih Penting dari Alam?

kaltimes.com
19 Jun 2025
Share

SEJAK 1970-an, kehutanan menjadi sektor penting dan penghasil devisa utama di Kalimantan Timur. Kini, Kalimantan Timur memiliki kawasan hutan seluas 8,15 juta hektare, sebagaimana tercantum Rancangan Awal RPJMD Kalimantan Timur 2025. Wilayah ini mencakup berbagai fungsi, mulai dari hutan produksi, hutan lindung, hingga kawasan konservasi. Ketentuan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 584 Tahun 2024 tentang Penetapan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Timur. Besarnya potensi hutan juga membawa tantangan menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Isu ini menjadi sorotan penting dalam penyusunan Rencana.

Sejak 2020 hingga 2024, produksi kayu bulat di Kalimantan Timur mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Data Dinas Kehutanan Provinsi menunjukkan produksi dari Hutan Tanaman Industri (HTI) mengalami kenaikan. Produksi dari HTI melonjak dari 3,48 juta meter kubik pada 2020 menjadi 5,14 juta meter kubik pada 2024. Sementara itu, produksi dari hutan alam justru mengalami penurunan. Produksi dari hutan alam dari 1,12 juta meter kubik menjadi 887 ribu meter kubik.  Data ini menunjukkan peralihan dari eksploitasi hutan alam ke pengelolaan hutan yang lebih terencana.

Di sisi lain, lahan kritis yang direhabilitasi setiap tahun cenderung stagnan. Pada tahun 2020, luas lahan yang direhabilitasi mencapai sekitar 38 ribu hektare. Angka ini hanya mengalami peningkatan kecil pada 2024, menjadi 39 ribu hektare. Hal ini menunjukkan bahwa upaya rehabilitasi lahan belum mengalami peningkatan signifikan meski tantangan semakin besar. Padahal, rehabilitasi berperan penting dalam memulihkan fungsi ekologis hutan yang terganggu akibat penebangan, alih fungsi lahan atau bencana alam.

Untuk menilai pemanfaatan hutan sejalan dengan upaya pelestariannya, digunakan pendekatan rasio antara volume produksi kayu bulat dan luas lahan kritis yang direhabilitasi. Produksi kayu bulat, yang berasal dari penebangan pohon di hutan alam maupun HTI, merupakan bentuk pemanfaatan langsung terhadap sumber daya hutan. Tanpa adanya rehabilitasi yang sebanding, aktivitas ini dapat mengganggu fungsi ekologis hutan dan memperparah degradasi lingkungan.

Idealnya, peningkatan produksi kayu harus diimbangi dengan peningkatan rehabilitasi ekosistem. Namun, analisis rasio antara volume produksi kayu dan luas lahan rehabilitasi menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2020, total produksi kayu mencapai sekitar 4,83 juta meter kubik, dengan luas lahan yang direhabilitasi sebesar 38.737,80 hektare. Rasio produksi kayu terhadap lahan rehabilitasi adalah 124,8 meter kubik per hektare. Rasio ini menunjukkan untuk setiap hektare lahan rehabilitasi, terdapat 124,8 meter kubik kayu yang diproduksi. Angka ini melonjak menjadi 164,9 meter kubik per hektare pada 2024.

Peningkatan rasio tersebut mencerminkan beban ekologis yang terus bertambah. Dengan kata lain, pemanfaatan sumber daya hutan berjalan lebih cepat daripada upaya pemulihannya. Ketidakseimbangan ini berisiko memperburuk kondisi ekosistem jika tidak segera diimbangi dengan peningkatan rehabilitasi lahan secara signifikan.

Stagnannya rehabilitasi hutan di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh besar kebutuhan pemulihan lahan. Data Ranwal RPJMD Kaltim 2025 mencatat lahan kritis mencapai 274 ribu hektare. Dari jumlah tersebut, 194 ribu hektare sudah direhabilitasi pada 2020–2024, menyisakan sekitar 80 ribu hektare yang belum tertangani. Di sisi lain, pada 2024, kerusakan hutan terus berlanjut dengan 12.766 hektare hutan rusak akibat pembakaran liar, kebakaran dan perambahan. Hal ini menjadi faktor yang memperlambat rehabilitasi dan meningkatkan tantangan pemulihan ekologis.

Kegagalan rehabilitasi hutan berisiko serius bagi keberlanjutan ekosistem. Menurut Sudarmadji dan Hartati (2023) dalam ULIN: Jurnal Hutan Tropis, meski teknis rehabilitasi seperti revegetasi dan pengendalian erosi telah tercapai, kegagalan pemulihan ekosistem terlihat dari belum pulihnya rantai makanan, terutama dengan ketidakhadiran predator puncak. Ini menunjukkan bahwa struktur dan fungsi ekologis hutan masih jauh dari pulih.

Kalimantan Timur menghadapi ketimpangan serius antara produksi kayu yang meningkat dan rehabilitasi hutan yang stagnan. Meski teknis rehabilitasi seperti revegetasi telah dilakukan, pemulihan ekosistem belum menyeluruh. Hal ini terlihat dari belum pulihnya rantai makanan. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat mempercepat degradasi lingkungan dan melemahkan fungsi hutan dalam menopang keanekaragaman hayati. 

Untuk mengatasi ketimpangan antara produksi dan pemulihan hutan, diperlukan langkah strategis yang mencakup perluasan program rehabilitasi, audit keberlanjutan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta integrasi kebijakan produksi dengan kewajiban rehabilitasi berbasis rasio. Pendekatan ini bertujuan memastikan bahwa setiap aktivitas pemanfaatan hutan diimbangi dengan upaya pemulihan ekologis yang sepadan. (*)Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin