AMARAH suara rakyat kembali menggema dari jalanan ibu kota. Kekecewaan terhadap DPR tak lagi sekadar bisik-bisik, tapi turun menjadi gelombang protes yang merambah daerah.
Belakangan ini, perhatian publik banyak tertuju pada kinerja DPR. Bukan karena prestasi, melainkan deretan kontroversi. Mulai dari tunjangan yang jauh di atas upah minimum, hingga aksi joget anggota dewan di tengah kondisi ekonomi sulit.
Kemarahan warga pun pecah pada Senin (25/8/2025). Massa dari berbagai elemen masyarakat mendatangi DPR untuk menyampaikan aspirasi. Aksi yang awalnya terkonsentrasi di Jakarta kemudian menjalar ke sejumlah kota lain.
Meski demonstrasi besar pada Senin (1/9/2025) berakhir ricuh, situasi perlahan mereda. Sejumlah kelompok memutuskan mundur sementara dari aksi turun ke jalan. Namun, kemarahan masih terus hidup di media sosial.
Di ruang digital, isu pendidikan anggota DPR jadi sorotan baru. Publik menilai syarat minimal lulusan SMA untuk jadi wakil rakyat sudah tidak cukup. Banyak warganet bahkan mengusulkan syarat baru, yakni minimal lulusan S1.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui laporan Statistik Politik 2024 memperlihatkan latar pendidikan anggota DPR. Dari total anggota periode 2024–2029, sebanyak 63 orang tercatat sebagai lulusan SMA dan 3 orang lulusan D3. Kelompok terbesar berasal dari lulusan S1 dengan 155 orang. Disusul lulusan S2 sebanyak 119 orang. Adapun lulusan S3 tercatat hanya 29 orang.
Yang unik, ada 211 anggota DPR yang tidak mencantumkan latar belakang pendidikan mereka. Padahal, transparansi informasi menjadi tuntutan publik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang tidak mewajibkan keterbukaan soal pendidikan.

Syarat Pegawai vs Syarat Wakil Rakyat
Kondisi ini memantik pertanyaan besar di tengah masyarakat. Di hampir semua bidang kerja formal, seorang pegawai dituntut minimal lulusan S1 untuk bisa melamar posisi tetap. Bahkan, banyak perusahaan sekarang menambahkan syarat pengalaman dan sertifikasi khusus.
Ironisnya, syarat untuk menjadi anggota DPR justru lebih longgar. Undang-undang hanya mengharuskan calon legislatif berijazah SMA atau sederajat. Padahal, tugas DPR jauh lebih strategis: membuat undang-undang, mengawasi pemerintah, serta mengelola anggaran triliunan rupiah.
Lebih membingungkan lagi, ada 211 anggota DPR yang memilih merahasiakan latar belakang pendidikannya. Ketertutupan ini memunculkan tanda tanya: apakah mereka memang tidak ingin publik tahu, atau ada persoalan lain di baliknya?
Bagi publik, keterbukaan soal pendidikan bukan sekadar formalitas. Ia menjadi tolok ukur kapasitas intelektual, sekaligus ukuran tanggung jawab moral seorang wakil rakyat. Transparansi adalah bentuk penghormatan kepada rakyat yang memberi suara.
Publik layak tahu siapa yang mewakili mereka, termasuk sejauh mana kapasitas intelektual wakil rakyat di Senayan. (*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin