DI TANGAN anak muda, masa depan bangsa digenggam. Namun, langkah mereka sering terhambat ketika ingin bersuara atau ikut mengambil peran di ruang publik. Ruang sipil yang seharusnya terbuka justru terasa sempit dan penuh risiko.
Anak muda menjadi kunci utama keberhasilan target Indonesia Emas 2045. Partisipasi mereka di ruang sipil sangat menentukan arah bangsa. Namun, ruang sipil di Indonesia masih terbatas dan belum sepenuhnya inklusif.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mendefinisikan ruang sipil sebagai lingkungan yang memberi kesempatan masyarakat untuk ikut serta dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Ruang sipil memungkinkan individu maupun kelompok menyuarakan pendapat, berorganisasi, dan ikut membentuk kebijakan publik.
Bagi anak muda, ruang sipil bukan sekadar wadah, tetapi pintu untuk melatih kepemimpinan, memperjuangkan isu yang mereka hadapi, dan memengaruhi kebijakan yang menyangkut masa depan mereka. Tanpa ruang sipil yang aman dan terbuka, suara generasi muda mudah terpinggirkan.
Contoh ruang sipil bisa terlihat dalam berbagai bentuk. Mulai dari forum diskusi kampus, organisasi kepemudaan, komunitas lingkungan, hingga aksi damai di jalanan.
Media sosial pun kini menjadi bagian dari ruang sipil, tempat anak muda menyuarakan kritik, ide, dan solidaritas. Ruang sipil yang sehat memberi mereka kebebasan untuk berkumpul, berpendapat, dan berpartisipasi tanpa takut diintimidasi.
Dengan kata lain, kualitas demokrasi bisa diukur dari seberapa besar ruang sipil memberi ruang bagi generasi muda untuk hadir dan didengar. Jika ruang sipil tertutup, bukan hanya anak muda yang kehilangan kesempatan, melainkan juga bangsa yang kehilangan masa depan.
Jejak Angka di Balik Ketakutan
Yayasan Partisipasi Muda melalui laporan Understanding Youth Engagement and Civic Space in Indonesia memotret kondisi tersebut. Penelitian kuantitatif melibatkan 919 responden berusia 18–25 tahun pada November 2024 hingga Maret 2025, lalu berlanjut dengan wawancara semi terstruktur.
Hasil survei menunjukkan 73,9 persen responden takut menyuarakan pendapat karena merasa tidak aman. Sebanyak 42 persen menilai pemerintah tidak cukup melindungi hak mereka. Sementara itu, 36,4 persen khawatir menghadapi pelecehan atau intimidasi saat berkumpul secara damai.
Hambatan lain pun muncul. Sebanyak 32,5 persen responden mengaku kesulitan mengakses sumber daya atau dukungan. Diskriminasi berbasis gender, etnis, atau agama dialami 24,6 persen anak muda. Lalu, 19,4 persen merasa ada batasan ketika ingin bergabung atau membentuk kelompok tertentu. Sementara itu, hanya 15,8 persen yang menilai ruang aman untuk berkumpul dan berorganisasi memang tidak tersedia.
Data tersebut menegaskan rasa takut mendominasi pengalaman anak muda saat ingin terlibat di ruang sipil. Lebih dari separuh responden melihat kebebasan berpendapat masih penuh risiko, baik intimidasi, diskriminasi, maupun hambatan akses. Angka-angka ini menggambarkan betapa jauhnya jarak antara semangat partisipasi generasi muda dengan kenyataan lapangan yang penuh tekanan.

Belajar dari Filipina
Jika dibandingkan dengan Asia Tenggara, tingkat ketakutan anak muda Indonesia jauh lebih tinggi. Di Filipina, survei Asia Foundation pada 2024 mencatat hanya 48 persen anak muda merasa takut bersuara, jauh di bawah Indonesia yang hampir menembus 74 persen.
Salah satu alasannya, ruang sipil di Filipina lebih terbuka berkat tradisi aktivisme yang panjang. Sejak masa rezim Marcos, generasi muda terbiasa menjadi motor gerakan pro-demokrasi, sehingga keberanian bersuara melekat dalam identitas sosial mereka.
Organisasi masyarakat sipil pun hadir kuat, mulai dari komunitas kampus, gereja, hingga kelompok lokal yang menyediakan ruang aman untuk berdiskusi. Media sosial bahkan menjadi kanal utama kampanye isu publik, dari lingkungan, hak buruh migran, hingga kesehatan mental.
Kondisi itu membuktikan bahwa ketika negara memberi ruang dan masyarakat sipil menopangnya, anak muda tidak hanya berani bersuara tetapi juga aktif memengaruhi kebijakan.
Tantangan ke Depan
Data tersebut menunjukkan anak muda Indonesia menghadapi tantangan serius. Semakin besar hambatan, semakin kecil peluang mereka terlibat dalam kebijakan publik. Padahal, partisipasi generasi muda bukan hanya soal hak, melainkan juga kebutuhan untuk membangun bangsa yang adil dan inklusif.
Ruang sipil seharusnya memberi keberanian, bukan menanamkan rasa takut. Jika dulu Indonesia berdiri dengan darah dan pengorbanan, kini tanggung jawabnya adalah memastikan generasi muda bisa bicara tanpa dibungkam. (*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin