DI MEJA-MEJA sekolah, seharusnya tersaji tawa dan rasa kenyang. Namun kini, piring yang mestinya jadi simbol gizi berubah jadi ancaman sunyi. Ribuan anak jatuh sakit, meninggalkan jejak kepanikan di ruang kelas dan rumah sakit. Program yang lahir dengan janji kesejahteraan justru menghadirkan luka yang sulit ditelan.
Ledakan Kasus dan Seruan Evaluasi
Sebanyak 5.626 kasus keracunan akibat MBG tercatat di puluhan kota dan kabupaten di 16 provinsi. Angka ini melonjak drastis dari 1.376 kasus pada akhir Juni 2025. Bahkan pekan lalu, 300 anak di Banggai Kepulauan dan 569 anak di Garut ikut menjadi korban. Gelombang protes pun menguat. LSM dan orang tua mendesak pemerintah menghentikan sementara MBG, melakukan evaluasi menyeluruh, atau mengalihkan anggaran besar itu ke sektor pendidikan yang lebih jelas manfaatnya.
Dukungan MBG Berbeda Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Program MBG 2025 mengalokasikan anggaran sebesar Rp 71 triliun. Untuk memahami persepsi publik, CELIOS melakukan survei kuantitatif pada 1.858 responden dari seluruh provinsi. Responden berasal dari wilayah perdesaan, pinggiran kota, hingga perkotaan, sehingga mencerminkan pandangan luas masyarakat.
Hasil survei menunjukkan mayoritas mendukung MBG: 64 persen responden sangat mendukung, 17 persen mendukung, sementara sisanya bersikap netral atau menolak.
Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, dukungan tidak merata:
Responden SD atau Tidak Sekolah: Sebanyak 33 persen sangat mendukung, dan hanya 1 persen bersikap netral. Hal ini menandakan kelompok pendidikan rendah cenderung menaruh kepercayaan tinggi pada program MBG sebagai solusi kebutuhan nutrisi anak.
Responden SMP: 9 persen sangat mendukung, 12 persen mendukung, dan 1 persen netral. Dukungan masih cukup tinggi, meski mulai terlihat penurunan dari kelompok SD.
Responden SMA/SMK: 16 persen sangat mendukung, 4 persen mendukung, dan 13 persen netral. Terjadi pergeseran, kelompok ini mulai mempertanyakan efektivitas MBG dan potensi risiko kesehatan.
Responden D1–D4: 2 persen bersikap netral, sisanya menolak atau tidak terlalu mendukung. Angka ini menunjukkan peningkatan skeptisisme terhadap program.
Responden S1–S3: Hanya 6 persen sangat mendukung, 1 persen mendukung, dan 2 persen netral. Kelompok pendidikan tinggi paling kritis, kemungkinan karena mereka lebih paham risiko gizi, keamanan pangan, dan tata kelola program.
Secara keseluruhan, data ini menunjukkan tren jelas: semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kritis responden terhadap MBG. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman pendidikan memengaruhi persepsi terhadap kualitas, keamanan, dan efektivitas program.
Dukungan terbesar justru datang dari kelompok yang paling rawan terhadap risiko keracunan, yaitu responden pendidikan rendah, yang mengandalkan MBG sebagai sumber nutrisi anak-anak mereka.

Gunung Es Masalah MBG
Dilansir BBC (23/9/2025), Diah Saminarsih, Founder dan CEO CISDI, menegaskan kasus keracunan MBG hanyalah puncak gunung es. Menurutnya, jumlah korban bisa lebih besar karena pemerintah tidak menyediakan dasbor publik untuk pelaporan kasus. Presiden Prabowo Subianto justru menekankan jumlah penerima MBG yang sudah mencapai 21 juta anak, tanpa mengulas risiko yang muncul.
Diah menilai pemerintah menjalankan MBG dengan terburu-buru demi mengejar target 82,9 juta penerima pada akhir 2025. Ia menegaskan kualitas tata kelola hingga distribusi makanan tidak tertata dengan baik. Menu MBG bahkan banyak mengandung pangan ultra-proses dan susu tinggi gula yang justru menambah risiko kesehatan anak.
CISDI mendesak pemerintah menghentikan sementara program ini. Diah menekankan evaluasi menyeluruh harus segera dilakukan, disertai perbaikan transparansi dan akuntabilitas. Baginya, MBG bukan hanya soal angka penerima, melainkan soal keselamatan anak yang seharusnya dilindungi.

Langkah Pemerintah yang Terburu-buru
Kepala BGN Dadan Hindayana membentuk Satgas KLB untuk meredam kasus keracunan MBG. Pemerintah menghentikan sementara operasional SPPG sesuai skala masalah. Di Banggai dan Garut, pengawasan diperketat lewat koordinasi perangkat daerah, pelatihan masak berulang, hingga evaluasi harian.
Namun, perbaikan ini masih bersifat tambal sulam. SPPG baru hanya diminta melayani 2–3 sekolah agar risiko terkendali. Masa libur sekolah dimanfaatkan untuk evaluasi, sementara sertifikasi dan akreditasi program dipercepat untuk mengejar target nasional.
Di sisi lain, realisasi anggaran menunjukkan angka mengejutkan. Per September 2025, dana terserap Rp13,2 triliun atau 18,6 Persen dari total Rp71 triliun. Anggaran mengalir cepat, tapi kapasitas di lapangan justru tertatih. Kontradiksi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah pemerintah lebih sibuk mengejar angka serapan ketimbang memastikan keamanan anak?(*)
Penulis: Dwi Lena Irawati
Editor: Amin